Senin, 23 Oktober 2017

BERJAGA DAN BERDOA


24/10/2017

Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa (Luk. 21:36).

Ini adalah petikan ayat yang menjadi bait pengantar injil pada hari ini. Kita sering mendengar ayat ini dalam berbagai hal, misalnya dalam perumpamaan tentang hamba-hamba yang berjaga menunggu tuan pesta atau ketika Yesus meminta para murid-murid-Nya untuk berjaga bersama-Nya sambil berdoa pada malam terakhir sebelum ia disalibkan.
Ayat ini kerapkali dihubungkan dengan misteri kedatangan anak manusia pada akhir zaman. Sebuah misteri yang dikatakan Yesus dalam beberapa kali kesempatan-Nya ketika mengajar. Siapa yang tahu misteri kedatangan anak manusia? Yesus pun tidak. Hanya Allah. Bapa-Nya. Bapa kita yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Sebab itulah Yesus kerapkali menegaskan ‘Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa’.
Bila diperdalam apakah kalimat ini merupakan peringatan? bisa saja. Untuk siapa dan apa? manusia yang dalam pergumulannya sadar untuk  mempersiapkan diri menyambut kedatangan misteri Allah, seorang anak manusia.  Sebuah hal sederhana namun belum tentu banyak orang bisa melakukannya.
Bagiku petikan ayat ini memiliki dua kata kokoh, yakni berjaga-jaga dan berdoa. Keduanya merupakan kata kerja yang menuntut diriku untuk menerima konsekuensi apapun yang terjadi dalam diriku dan membawa segala konsekuensi itu di dalam doa.
Aku punya pengalaman menarik yang berhubungan dengan petikan ayat ini, secara khusus kepada dua kata kokoh di atas. Pengalaman itu terjadi ketika aku masih menempuh pendidikanku di sebuah Seminari di kota Pangkalpinang, Seminari Menengah Mario John Boen.
Suatu sore aku berkenalan dengan seorang gadis, sebut saja namanya Lara. Waktu itu lara sedang menjalani ujian susulan dikarenakan sakit. Secara kebetulan kepala sekolah Seminari adalah guru pengampu mata pelajaran tersebut dan ujian tersebut diadakan di Seminari. Singkat cerita kami bertukaran media sosial, facebook, dan berkirim pesan setiap akhir minggunya.
Berselang satu tahun pertemanan kami, aku mendengar kabar ia dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta karena menderita kanker payudara. Berbagai rasa campur aduk mengisi hati dan langkahku setiap hari. Aku berpikir bahwa aku tidak dapat melakukan apapun untuk dirinya, sebab aku tinggal di seminari. Namun, itu tidaklah benar. Secara tidak sengaja aku membuka sebuah buku doa dan lembar novena kepada hati kudus Yesus seperti menampar keputusasaanku untuk menolong Lara, teman baikku. Aku memutuskan untuk berdoa novena setiap malamnya, tepatnya jam 10 setelah Completorium. Pada hari ke-9, aku mendengar kabar yang sangat membahagiakan. Lara sembuh total dari kanker payudaranya.
Pengalamanku di atas tentulah menjadi sebuah mukjizat nyata. Namun, aku menanggapinya sebagai sebuah konsekuensi atas hidup yang dinamis. Apapun bisa terjadi padaku atau pada orang-orang yang berada di sekitarku. Konsekuensi itulah yang kubawa dalam doaku. Dalam doaku yang utuh untuk keselamatan jiwa orang-orang di sekitarku.
Berjaga-jaga adalah tindakan manusia untuk berani menghadapi konsekuensi daripada apa yang terjadi dalam hidupnya. Dan, doa adalah kekuatan untuk menyeimbangkan manusia dalam pergumulannya menghadapi konsekuensi yang terjadi pada dirinya.
Apakah kita sudah mampu untuk berjaga-jaga dan berdoa?


Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Aku mengucap syukur atas kehidupan yang Engkau berikan padaku. Ya Allah Tritunggal dalam hidup ini aku seringkali menghadapi berbagai pergumulan yang bisa saja terjadi padaku atau orang-orang di sekitarku. Maka dari itu, aku mohon bimbingan-Mu bagi diriku untuk mampu berjaga-jaga dan berdoa baik bagi diriku maupun orang-orang di sekitarku. Aku ingin menanggapi perkataan-Mu secara utuh sebagai bentuk syukur dan persiapan bagi kedatangan manusia dalam menyambut sebuah misteri yang tak pernah kutahu kapan itu akan terjadi.


Burung Gereja

MENJADI SEPERTI YESUS: MEMBERI KESEMPATAN BAGI SESAMA.

 
Selamat Pagi dunia
Aku menemukanmu pagi ini di layar handphoneku yang tak henti berkedip-kedip, alarm. Pagi ini aku bangun dengan penuh semangat dan sangat berbeda dari biasanya. Apakah karena semalam aku berdoa Rosario?, Pikirku sejenak sebelum mengambil handuk untuk mandi. Namun, sebelum aku menggapai tuas pintu kamarku, sebuah pesan WA mendarat di layar handphoneku. Dari seorang gadis. Tak ada salahnya membaca pesan itu sebentar, pikirku.
Pesan itu berisi tanggapan atas perbincangan yang belum selesai tadi malam. Masalah rumah, dengan tanteku. Gadis itu menyadarkanku bahwa posisiku di keluarga ini bukanlah sebagai orang lain, melainkan saudara. Ia benar. Aku pun sadar dan sangat mengerti akan hal itu. Tapi bukan itu yang ingin aku jadikan titik tolak dari cerita selanjutnya. Gadis itu memberikan kesempatan padaku untuk belajar, bukan menghakimiku atas kesalahanku. Bahkan kupikir itu bukan kesalahanku. Tidak ada maksud mengelak.
Bukankah ini juga yang diajarkan oleh Yesus ketika wanita berzinah datang padanya setelah dikejar-kejar segerombol pria?. Yesus tidak menghakimi. Ia hanya mengatakan pada segerombol pria itu
'Barang siapa tidak pernah melakukan dosa, dialah orang pertama yang melemparkan batu kepada gadis ini."
Lalu, satu demi satu pria dari gerombolan itu pergi mengisahkan Yesus dan gadis berzinah itu. Lalu apa yang Yesus lakukan? Ia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bertobat, ia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk belajar memaknai lebih dalam makna kehidupan dan larangan Allah (10 perintah Allah). 
Setelah mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi kuliah. Aku kembali menemukan pesan di layar HP-ku. Kali ini pesan dari grup kelas yang berisi tentang permasalahan seorang dosen. Sebut saja dosen itu X. Beliau jarang masuk, di kelas mahasiswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan bahan dan beliau hanya memberi penegasan yang tidak membangun (menurutku) dan kukira ini yang paling parah, beberapa hari lalu beliau tidak memberi kabar terkait ketidakhadirannya untuk mengajar padahal hari itu mahasiswa datang hanya untuk mengikuti kelasnya. 
Bertebaranlah diskusi di grup kelas terkait jadwal untuk pergantian kelas. Mayoritas mengatakan tidak setuju bila akan diadakan pergantian kelas, tentunya dengan alasan-alasan yang masuk akal. Dan aku termasuk orang yang ada di dalam mayoritas tersebut. Alasanku tidak setuju adanya pergantian kelas adalah bukan sekali dua kali saja dosen x itu tidak hadir, melainkan sudah beberapa kali. Bila diadakan kelas pengganti tentunya akan mengambil banyak waktu di mana serangkaian rencana sudah dibentuk dan tuntutan kepanitiaan serta tugas-tugas pun menumpuk dalam jadwal harianku.
Namun, di atas permasalahan ini aku kembali disadarkan oleh sikap Yesus kepada wanita berzinah yang datang kepada-Nya. Bila aku menghayati secara mendalam kejadian Yesus dan wanita berzinah itu, aku mendapati ketakutan dan kegelisahan yang amat sangat besar dalam diri wanita berzinah yang datang kepada Yesus. Lalu aku bertanya, apa bedanya dengan dosen X itu? Beliau pasti gelisah dan takut juga ketika akhirnya sadar tidak datang untuk mengisi kelas di mana mahasiswa sudah menggebu-gebu datang untuk belajar mempersiapkan diri demi masa depan.
Satu hal yang ingin aku garis bawahi, sadar atau kesadaran atau disadari. Kata ini menjadi dasar kemiripan antara wanita berzinah dalam Kitab Suci dan dosen X itu. Wanita berzinah disadari akan kesalahannya oleh Yesus secara personal dan membekas secara mendalam di hati wanita itu. Apa yang Yesus lakukan untuk menyadarkan wanita itu adalah demi kebaikan diri wanita itu sendiri, demi keselamatan jiwa yang direnggut iblis.
Lantas dosen X itu? Aku merasa perlu menjadi seperti Yesus, seperti yang dosenku katakan 'Menjadi seperti Yesus kita perlu bersikap seperti Yesus'. Aku merasa tidak pernah menegur beliau secara personal demi kebaikan dirinya dan tentu keselamatan jiwanya. Aku selalu merasa bersikap apatis terhadap apa yang beliau lakukan.  Bila hal ini merupakan kesalahan, tentu aku juga memilikinya.
Seperti gadis yang mengirim pesan WA kepadaku di pagi buta. Ia tidak menghakimku, ia malah menyadarkan aku dan memberi kesempatan padaku untuk belajar memaknai setiap tindakanku. Sebab aku jarang dan bahkan sulit untuk sadar atas tindakanku. Gadis pagi buta itu menyadarkan aku. Ia bersikap seperti Yesus' yang menyadarkan wanita berzinah untuk menyelamatkan jiwa wanita berzinah. Gadis pagi buta itu menyelamatkan jiwaku.
Sekarang, mengapa aku tidak menyadarkan dosen X itu untuk menyelamatkan jiwanya? Untuk memaafkan kesalahannya demi kebaikan bersama?
___
Terima Kasih Yesus atas kesempatan yang Kau berikan padaku untuk kembali sadar pada hari ini. Terima kasih karena Engkau telah mengajarkan hal kecil kepadaku pagi ini untuk berani memaafkan kesalahan sesamaku dan memberi kesempatan sesamaku untuk kembali belajar memaknai kehidupan seperti Engkau yang memberi kesempatan kepada wanita berzinah yang datang pada-Mu. 
Perjalanan menuju kampus, 23/10/2017